Diposkan pada tulisan

Bulan Pertama

Setelah sekian purnama kini ku memberanikan diriku untuk berjalan dibawah sinar rembulan.

“malam ini indah, sudah berapa lama aku tidak menikmati indahnya malam hari? entahlah aku tak tau” gemingku dalalm hati. mungkin ini adalah bulan pertama yang aku pandang dengan sebuah senyuman, senyum bahagia…

any.time

Diposkan pada tulisan

Hujan Kembali Menangis

Hari ini Tuhan kasih jawaban atas semuanya.
Tuhan tunjukkan kebenarannya.
Kalo aku memang tidak bersalah.
Tapi dialah yang berkhianat dengan yang baru.

Hari ini Tuhan tunjukkan kalo dia tak pantas untukku, tapi kenapa harus sakit sesakit ini?
Kenapa mencintai harus sangat menyakitkan?
Ternyata ini semua balasan dari penantian…

Diposkan pada tulisan

Kembali dan Jatuh

Hari ini aku mendengar kabar bahwa kamu telah kembali.
Aku bahagia.
Aku juga sedih.
Aku bahagia karna allah menjawab doa-doaku agar kamu kembali dengan selamat.
aku sedih karna tidak menemuiku atau mungkin gak ingat ada aku yang menunggumu.

Setelah sekian lama aku menunggunya, selalu mendoakan dia. Tapi nyatanya dia kembali bukan untukku.

Kamu tidak ingat aku?
Apa kamu tidak ingat ada aku yang menunggumu?
Apa kamu tidak ingat kata-kata yang kamu ucapkan saat aku mengantarmu pergi?
Ini sangat menyakitkan untukku.

Kalung…
Maafkan aku karna kamu tidak bisa kembali pada pemilikmu.
Maafkan aku karna telah memaksamu untuk tinggal disini.
Andai aku tau akan seperti ini aku tidak akan memintamu dan menjadikanmu alasan agar dia kembali padaku.

Diposkan pada tulisan

Rindu

Hai kamu…
Apa kabar?
Aku hanya ingin tau kabar kamu, bagaimana keadaan kamu, apa kamu baik-baik saja?
Banyak yang ingin aku tanyakan sebenarnya, tapi aku tak berani.

Aku hanya bisa menanyakan itu depan fotomu yang ada dialbum memoriku.
Aku hanya bisa melihat kontakmu, tapi tak berani menelponmu.

Lucu yah…
Sudah selama ini aku masih mengharapkanmu, padahal aku tau semua itu tidak mungkin.

Andai waktu dapat ku ulang kembali, aku hanya ingin kembali disaat aku masih bersamamu, memperbaiki kesalahanku.

Aku tak kuat seperti ini.
Sampai pada akhirnya aku memberanikan diri untuk mengirim pesan kalau aku rindu…

Diposkan pada tulisan

Kamu

Kamu pernah ada disini
Pernah ada dalam genggamanku.
Tapi itu hanya sesaat dan hanya sekedar lewat.
genggaman erat tanganku takkan pernah berarti jika kamu memaksa untuk melepasnya.
Menjaga takkan ada artinya jika kamu merusaknya.
Kamu…
Bukan suatu penyesalan, tapi sebuah pembelajaran.
Berkat kamu…
Aku menjadi lebih hebat dan kuat..

Diposkan pada tulisan

Hujan Menangis…

hay kamu…
untuk keberapa kalinya kamu mengatakan ingin mengakhiri hubungan ini?
hanya karena satu dan dua kesalahan.
apakah kamu pernah merasakan bagaimana jika kamu ada diposisiku?setiap hari mencoret angka yang ada didalam kalenderku,
setiap waktu aku berdoa untukmu,
jika kamu dengan mudah mengatakan putus hanya karena satu dan dua kesalahanku, bagaimana dengan aku?
kamu selalu cuek, acuh tak acuh, bahkan kamu seakan-akan tidak peduli terhadapku.
bahkan satu hari sebelum kamu pergi aku melihat kamu chatting dengan manisnya kepada wanita lain, tapi apa yang aku lakukan?
aku diam, aku pura-pura buta dan berpura-pura tidak melihat semua itu.
karena apa?
karen aku sayang dan percaya kepadamu
tapi ternyata kamu sendiri yang tidak percaya terhadapku.
apa aku tidak penting untukmu?

JD.ANY

Diposkan pada tulisan

Story Of 11052015

Suatu hari saat aku mau pergi keacara ulang tahun temanku, dalam perjalanan tiba-tiba mobil yang aku kendarai mogok, aku bingung harus melakukan apa karna aku tidak mengerti sama sekali tentang mesin. Aku langsung menelpon bengkel untuk dapat segera memperbaiki mobil aku. Setelah menunggu lama dan pegawai bengkelnya belum juga sampai, tiba-tiba ada seorang pria datang menghampiriku dan bertanya “kenapa mbak mobilnya?”. Akupun menjawab “mogok mas, tapi saya tidak tahu kenapa!”. Kemudian dia langsung memeriksa mesinnya, ternyata kabel akinya ada yang lepas. Awalnya aku takut sama pria itu, karena dizaman sekarang banyak sekali modus orang jahat, yang berpura-pura baik. Tapi ternyata dugaan ku salah dia memang baik. Setelah mobilku hidup kembali aku pun langsung mengucapkan terima kasih kepada pria itu dan bergegas pergi karena aku sudah terlambat datang keacara ulang tahun temanku.

Dalam perjalanan aku perpikir masih ada juga pria orang baik dizaman sekarang. Yang aku tahu dikota sebesar ini semua orang sangat cuek dengan orang lain, mereka hanya memikiran dirinya sendiri tanpa memikiran orang lain. Tiba-tiba terbersit dalam pikirku kenapa aku tidak menanyakan namanya?

Sesampainya diacara temanku, aku menghampiri dia untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepadanya dan memberikannya kado. Tak lama setelah aku mengucapkan selamat kepada dia kemudian datang seorang pria yang merupakan tamu undangannya, dan ternyata pria itu adalah pria yang tadi membantu memperbaiki mobilku. Temanku langsung memperkenalkan pria itu kepadaku, dan kami pun berkenalan.

Selama acara berlangsung aku berbincang-bincang dengan pria itu. Saling memperkenalkan diri dan saling bercerita. Tak kusangka aku bisa bertemu lagi dengan pria itu. Pria yang sempat aku takuti ternayata orangnya baik bahkan asik…

Setelah bercerita panjang lebar aku langsung mengenal sikap dia. Dia yang cuek, terlihat angkuh, tapi sebenarnya dia baik, asik, mudah bergaul. Saking asiknya ngobrol sama dia tak terasa acaranya pun sudah mau selesai.

Saat aku mau masuk kedalam mobil, dia menghampiriku untuk meminta nomor ponselku dan mengucapkan selamat bertemu kembali dan hati-hati dijalan.

Sepanjang perjalanan pulang aku tersenyum sendiri, ternyata dunia ini sempit… hehehe

Diposkan pada tulisan

Pajak pertambahan nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, PPN disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST). PPN termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.

Karakteristik

  • Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda.
  • Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi.
  • Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak.
  • Menghindari pengenaan pajak berganda.
  • Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.

Perkecualian

Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:

Barang tidak kena PPN

  • Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
  1. Minyak mentah.
  2. Gas bumi.
  3. Panas bumi.
  4. Pasir dan kerikil.
  5. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara.
  6. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit.
  • Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
  • Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk:
  1. Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk benih.
  2. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak.
  3. Beras pecah.
  4. Menir (groats) beras.
  • Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk:
  1. Jagung yang telah dikupas maupun belum.
  2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan.
  3. Menir (groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran.
  • Sagu, dalam bentuk:
  1. Empulur
  2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu.
  • Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh.
  • Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk:
  1. Garam meja.
  2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.

Jasa tidak kena PPN

  • Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
  1. Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi.
  2. Jasa dokter hewan.
  3. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi.
  4. Jasa kebidanan dan dukun bayi.
  5. Jasa paramedis dan perawat.
  6. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium.
  • Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
  1. Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo.
  2. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial.
  3. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan.
  4. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
  5. Jasa pemakaman, termasuk krematorium.
  6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial.
  7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial.
  1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang.
  2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi.
  3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi.
  • Jasa di bidang keagamaan, meliputi:
  1. Jasa pelayanan rumah ibadah.
  2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah.
  3. Jasa lainnya di bidang keagamaan.
  • Jasa di bidang pendidikan, meliputi:
  1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi.
  2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.
  • Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma.
  • Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial.
  • Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta.
  • Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi:
  1. Jasa tenaga kerja.
  2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut.
  3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
  • Jasa di bidang perhotelan, meliputi:
  1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap.
  2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel.

Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Objek Pajak Pertambahan Nilai

Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa.

Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah:

  1. adanya penyerahan;
  2. yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP);
  3. yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP);
  4. penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia;
  5. PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan.

Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi:

  1. penyerahan hak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing;
  3. penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma;
  5. penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan;
  6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya;
  7. penyerahan secara konsinyasi.

Penyerahan yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah:

  1. penyerahan kepada Makelar;
  2. penyerahan untuk jaminan utang-piutang;
  3. penyerahan cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya yang telah mendapat izin pemusatan pembayaran pajak;
  4. penyerahan dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas barang kena pajak.

Barang kena pajak dimungkinkan berbentuk:

  1. barang berwujud dan bergerak;
  2. barang berwujud dan tidak bergerak;
  3. barang tidak berwujud yang dimanfaatkan di Indonesia.

Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari.

Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri, yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil.

Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai

Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP.

Adapun yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa Orang Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN 1984 sebagai berikut:

Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, melakukan atau tidak melakukan usaha.

Badan dapat terdiri dari

  1. PT, CV, Perseroan lainnya;
  2. BUMN/BUMD;
  3. Firma, Kongsi, Koperasi;
  4. Dana Pensiun;
  5. Persekutuan, Perkumpulan;
  6. Yayasan;
  7. Ormas, orsospol, organisasi lainnya;
  8. Lembaga;
  9. Bentuk Usaha lainnya;
  10. Bentuk Badan Lainnya.

Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah :

  1. Pengusaha Kena Pajak
  1. Pengusaha yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP.
  2. Bentuk Kerja sama Operasi.
    1. Bukan Pengusaha Kena Pajak
  3. Orang Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP).
  4. Orang pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean.
  5. Orang Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya.
  6. Jasa di bidang perhotelan.

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN.

Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut:

  1. untuk PPN Barang adalah harga jual;
  2. untuk PPN Jasa adalah penggantian;
  3. untuk PPN Impor adalah Nilai Impor;
  4. untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB atau JKP;
  5. untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain;
  6. untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor.

Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur.

Pengertian DPP dengan nilai lain, adalah:

  1. untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak termasuk laba kotor;
  2. untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata;
  3. untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual adalah harga pasar wajar;
  4. untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.

Saat dan Tempat Pajak Terutang

Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang.

Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk.

Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.

Tarif dan Menghitung PPN

Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat.

Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif.

Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun pembayaran

Menghitung PPN Pajak Masukan

Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda.

Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu:

  1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi lainnya;
  2. mencari nilai tambah pada setiap produksi;
  3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial;
  4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya;
  5. menerapkan pemungutan sekali.

Baik pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun 2000 yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan baku, bahan pembantu dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan tarif Pajak yang proporsional dan tunggal.

Pajak yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran.

Agar sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi batasan tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dengan beberapa contoh.
Mengkredit Pajak Masukan

Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.

Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi persyaratan.

Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif:

  1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan;
  2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan;
  3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan.

Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma Penghitungan

Tidak setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP. Sedangkan Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik atas pembelian BKP atau bukan BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena penggunaan Barang Modal, yang boleh dikreditkan terbatas pada Pajak Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan terselip Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Untuk itu disusun dan ditetapkan rumus dalam menghitung Pajak Masukan yang harus dibayar kembali.

Rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal bukan untuk menghasilkan BKP.

Pajak Masukan bagi PKP yang Menggunakan Norma Penghitungan

Pemungutan pajak dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun vertikal, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan objek yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Untuk mendapat pemungutan pajak yang adil tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu sumber data sekaligus sebagai pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka dalam pembukuan.

Melalui Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat menggambarkan perusahaan, modal perusahaan, utang perusahaan dan seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak.

Pembukuan harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan angka arab, serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan, metode penyusutan, maupun metode penilaian persediaan dan sebagainya.

Yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tersebut adalah:

  1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang oleh UU diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan;
  2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00 dan wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan dengan menggunakan Norma Penghitungan.
  4. Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000.

Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebagai berikut:

  1. untuk penyerahan BKP adalah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran;
  2. untuk penyerahan JKP adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran.

Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan nilai peredaran bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP disamping melakukan penyerahan BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dengan penyerahan yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan, sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi diperkenankan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi PKP pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar pengenaan pajak.

Administrasi Penggunaan Norma Penghitungan

Tidak semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto, melainkan terbatas pada wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun demikian, wajib pajak yang bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau penerimaan penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan.

Baik Petunjuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto maupun Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Penggunaan Norma Penghitungan dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan, di samping memudahkan wajib pajak, juga menghilangkan kesempatan wajib pajak untuk dapat kompensasi, restitusi dan hak-hak lainnya.

Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif.

Dengan diberikan contoh penghitungannya, ternyata tingkat progresivitas PPnBM bersama-sama dengan PPN, menunjukkan lebih tajam daripada PPnBM yang menggantikan PPn sebagaimana tertuang pada UU PPn 1951.

Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberlakukan bersama-sama dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai.

Menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah Non-Kendaraan Bermotor

Sebagai pelaksanaan pemungutan tambahan pada pemungutan PPN dalam rangka menciptakan pemungutan yang adil di bidang pajak atas penyerahan barang, maka diberlakukan pemungutan PPnBM. Agar supaya lebih memantapkan tingkat keadilan vertikalnya maka diterapkan tarif proporsional yang progresif, dimana tarif pajak PPn BM yang minimal 10% dan maksimal 50% dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok dengan tarif 10%, kelompok dengan tarif 20% dan kelompok dengan tarif 35%.

Akhirnya dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan unsur-unsurnya

Walaupun cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bersama-sama memungut Bea Masuk.

Diposkan pada tulisan

Pasar Domestik Mampu Serap Biofuel Yang Kena Antidumping Eropa

Merdeka.com – Pasar dalam negeri masih cukup untuk menampung produksi biofuel yang tidak bisa masuk ke Uni Eropa lantaran pemberlakuan bea masuk antidumping di sana pada bulan ini.

Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, di Jakarta, Rabu (20/11).

“Kalau biofuel Indonesia nanti terserap di dalam negeri, ibaratnya tuh kalau susah di sana kita cari yang gampang saja lah. Mungkin mereka yang justru akan gelisah kalau kita gak ekspor ke sana.

Menurut Bayu, sebenarnya, hanya satu produsen biofuel Indonesia yang dituduh melakukan dumping. Berdasarkan komunikasi yang dilakukan Kementerian Perdagangan, produsen biofuel merasa keberatan dengan tuduhan tersebut.

“Tampaknya dunia usaha akan mengambil langkah hukum untuk menuntut ke Eropa, karena terlihat ada beberapa hal yang sebenarnya kurang jelas dan kurang transparan, papar Bayu.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan, sebelumnya, menyebut bahwa impor CPO dan turunannya ke Uni Eropa tercatat naik lebih dari 52 persen dari 260 ribu ton pada September menjadi 395 ribu ton pada Oktober. Ini sebagai bentuk langkah antisipatif importir sebelum anti-dumping duties efektif diberlakukan.

Sumber              :

http://www.merdeka.com/uang/pasar-domestik-mampu-serap-biofuel-yang-kena-antidumping-eropa.html

Analisis             :

Pasar dalam negeri masih cukup untuk menampung produksi biofuel yang tidak bisa masuk ke Uni Eropa lantaran pemberlakuan bea masuk antidumping di sana pada bulan ini. produsen biofuel Indonesia yang dituduh melakukan dumping. Berdasarkan komunikasi yang dilakukan Kementerian Perdagangan, produsen biofuel merasa keberatan dengan tuduhan tersebut. Sehingga dunia usaha akan mengambil langkah hukum untuk menuntut ke Eropa, karena terlihat ada beberapa hal yang sebenarnya kurang jelas dan kurang transparan

Diposkan pada tulisan

Risiko Pada Perbankan Syariah

Perkembangan perbankan syariah mengalami pertumbuhan yang pesat khususnya sepanjang tiga dekade terakhir ini, baik di dunia internasional maupun di Indonesia. Pada era modern ini, perbankan syariah telah menjadi fenomena global, termasuk di negara-negara yang tidak berpenduduk mayoritas muslim. Berikut kami sampaikan tulisan bersambung mengenai manajemen resiko untuk perbankan Syariah.

Perkembangan Perbankan Syariah

Berdasarkan prediksi McKinsey tahun 2008 total aset pasar perbankan syariah global pada tahun 2006 mencapai 0,75 miliar dolar AS. Diperkirakan pada tahun 2010 total aset mencapai satu miliar dolar AS. Tingkat pertumbuhan 100 bank syariah terbesar di dunia mencapai 27 persen per tahun dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan 100 bank konvensional terbesar yang hanya mencapai 19 persen per tahun. Bank syariah di Indonesia, juga diyakini akan terus tumbuh dan berkembang. Harapan tersebut memberikan suatu optimisme karena memang penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini mengalami pertumbuhan pesat.

Profil Risiko Perbankan Syariah

Manajemen risiko merupakan unsur penting yang penerapannya sangat perlu diperhatikan, khususnya pada Bank sebagai salah satu lembaga keuangan (financial institution) . Penyusunan kerangka kerja, struktur dan perangkat yang efektif untuk memonitor risiko dengan menggunakan pendekatan Enterprise Risk Management (ERM) telah dimulai di tahun 2007. Selama 2007, pekerjaan besar telah diselesaikan dalam mengidentifikasi risk event dan merencanakan skenario untuk meningkatkan efektivitas Bank dalam kemampuannya menanggapi potensi atau terjadinya risk event.
Secara umum, risiko yang dihadapi perbankan syariah merupakan risiko yang relatif sama sama dengan yang dihadapi bank konvensional. Namun selain itu, bank syariah juga menghadapi risiko yang memiliki keunikan tersendiri, karena harus mengikuti prinsip-prinsip syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko operasional dan risiko likuiditas harus dihadapi bank syariah. Risiko unik ini muncul karena isi neraca bank syariah berbeda dengan bank konvensional. Dalam hal ini pola bagi hasil yang dilakukan bank syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah.
Dalam konteks penerapan manajemen risiko, pedoman yang dijalankan selama ini, sebagian besar didisain untuk bank-bank konvensional. Padahal pemain dalam bisnis perbankan dunia dan nasional tidak hanya bank konvensional, tetapi juga telah diramaikan oleh bank dengan prinsip syariah yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Maka bagaimana penerapan manajemen risiko pada bank-bank syariah? Seperti juga bank konvensional, kerangka manajemen risiko dapat membantu bank syariah mengurangi eksposur terhadap risiko dan meningkatkan daya saing di pasar. Bank syariah harus mampu untuk menerapkan manajemen risiko yang komprehensif untuk melakukan identifikasi, pengukuran, pengawasan, pengelolaan, pelaporan, dan pengendalian berbagai jenis risiko.
Risiko-risiko perbankan pada umumnya dibandingkan dengan bank syariah, mengacu pada Bab II pasal 4 butir 1 PBI No. 5/8/PBI/2003 antara lain sebagai berikut :

1. Risiko Kredit
Adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan pihak memenuhi kewajibannya. Pada bank umum, pembiayaan disebut pinjaman, sementara di bank syariah disebut pembiayaan, sedangkan untuk balas jasa yang diberikan atau diterima pada bank umum berupa bunga (interest loan atau deposit) dalam persentase yang sudah ditentukan sebelumnya. Pada bank syariah, tingkat balas jasa terukur oleh sistem bagi hasil dari usaha. Selain itu, persyaratan pengajuan kredit pada perbankan syariah lebih ketat dari perbankan konvensional sehingga risiko kredit dari perbankan syariah lebih kecil dari perbankan konvensional. Oleh sebab itu pada sisi kredit, dalam aturan syariah, bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli murabahah.
Dengan demikian debitor yang dinilai tidak cacat hukum dan kegiatan usahanya berjalan baik akan mendapat prioritas. Oleh sebab itu, risiko bank syariah sebetulnya lebih kecil dibanding bank konvensional. Bank syariah tidak akan mengalami negative spread, karena dari dana yang dikucurkan untuk pembiayaan akan diperoleh pendapatan, bukan bunga seperti di bank biasa.

2. Risiko Pasar
Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar dari portofolio yang dimiliki oleh bank, yang dapat merugikan bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar. Pada perbankan syariah tidak terdapat risiko pasar dikarenakan perbankan syariah tidak melandaskan operasionalnya berdasar risiko pasar.

3. Risiko Likuiditas
Risiko antara lain disebabkan bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh tempo. Bank memiliki dua sumber utama bagi likuiditasnya, yaitu aset dan liabilitas. Apabila bank menahan aset seperti surat-surat berharga yang dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan dananya, maka resiko likuiditasnya bisa lebih rendah. Sementara menahan aset dalam bentuk surat- surat berharga membatasi pendapatan, karena tidak dapat memperoleh tingkat penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan pembiayaan.
Faktor kuncinya adalah bank tidak dapat leluasa memaksimumkan pendapatan karena adanya desakan kebutuhan likuiditas. Oleh karena itu bank harus memperhatikan jumlah likuiditas yang tepat. Terlalu banyak likuiditas akan mengorbankan tingkat pendapatan dan terlalu sedikit akan berpotensi untuk meminjam dana dengan harga yang tidak dapat diketahui sebelumnya, yang akan berakibat meningkatnya biaya dan akhirnya menurunkan profitabilitas.
Pada bank syariah, dana nasabah dikelola dalam bentuk titipan maupun investasi. Cara titipan dan investasi jelas berbeda dengan deposito pada bank konvensional dimana deposito merupakan upaya mem-bungakan uang. Konsep dana titipan berarti kapan saja si nasabah membutuhkan, maka bank syariah harus dapat memenuhinya, akibatnya dana titipan menjadi sangat likuid. Likuiditas yang tinggi inilah membuat dana titipan kurang memenuhi syarat suatu investasi yang membutuhkan pengendapan dana.
Karena pengendapan dananya tidak lama alias cuma titipan maka bank boleh saja tidak memberikan imbal hasil. Sedangkan jika dana nasabah tersebut diinvestasikan, maka karena konsep investasi adalah usaha yang menanggung risiko, artinya setiap kesempatan untuk memperoleh keuntungan dari usaha yang dilaksanakan, di dalamnya terdapat pula risiko untuk menerima kerugian, maka antara nasabah dan banknya sama-sama saling berbagi baik keuntungan maupun risiko.

4. Resiko Operasional

Menurut definisi Basle Committe, resiko operasional adalah resiko akibat dari kurangnya sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini lebih dekat dengan keasalahan manusiawi (human error), adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kegagalan sistem atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko operasional .

5. Risiko Hukum
Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau lemahnya perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat sahnya kontrak. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko hukum.

6. Risiko Reputasi
Risiko yang antara lain disebabkan oleh adanya publikasi negatif yang terkait dengan usaha bank atau persepsi negatif terhadap bank. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko reputasi.

7. Risiko Strategi
Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko stratejik.

8. Risiko Kepatuhan
Risiko yang disebabkan bank tidak memenuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku. Tidak ada perbedaan yang cukup signifikan antara bank syariah dan bank konvensional terkait dengan risiko kepatuhan.