Diposkan pada Tugas

Evaluasi Persaingan Perdagangan Bebas Indonesia-China

Perdagangan internasional merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional dapat mendorong peningkatan industri, perkembangan transportasi global, serta  berdirinya perusahaan multinasional.  Di kawasan Asia Tenggara perdagangan internasional dikenal dengan Asean Free Trade Area (AFTA) yang meliputi negara-negara ASEAN, seperti: Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darusallam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar.

Perkembangan dalam AFTA terus berlanjut yang kemudian memulai kesepakatan untuk memasukkan China sebagai partner dagang dalam kawasan ASEAN dan membentuk ASEAN-China Free Trade Areas (ACFTA). ACFTA ini diawali oleh kesepakatan para peserta ASEAN-China Summit di Brunei Darussalam pada November 2001. Hal tersebut diikuti dengan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama Ekonomi (The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh pada November 2002, dimana naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA.

Ketertarikan ASEAN mengikutsertakan China menjadi partner dagang dalam ACFTA karena China memiliki potensi pasar yang bagus. Seperti yang kita ketahui China merupakan negara berkembang di Asia yang perkembangan ekonominya cukup pesat dan mampu mempertahankan pertumbuhan yang tinggi dibanding negara-negara lainnya, sehingga posisi Cina saat ini cukup penting dalam perekonomian global. China yang memiliki penduduk yang begitu besar yaitu 1,4 miliar yang merupakan pasar yang cukup besar dan potensial sehingga akan saling menguntungkan apabila dapat dijalin kerjasama diberbagai sektor ekonomi, karena disamping memiliki kemampuan investasi yang tinggi, Cina juga membutuhkan bahan baku dan barang modal untuk menggerakkan sektor industrinya. Dengan diberlakukannya pasar bebas tersebut, akan membuat produk-produk impor dari ASEAN dan China menjadi lebih mudah masuk ke pasar domestik. Selain itu harga produk tersebut juga menjadi lebih murah, disebabkan adanya pengurangan atau penghapusan tarif bea masuk.

Bagi Negara Republik Indonesia, perdagangan bebas ASEAN dengan China ini memberikan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian. Dampak positifnya adalah terbukanya peluang Indonesia untuk meningkatkan perekonomiannya melalui pemanfaatan peluang pasar yang ada, dimana produk-produk dari Indonesia dapat dipasarkan secara lebih luas ke negara-negara ASEAN dan China. China yang memiliki wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak, serta pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi pasar yang potensial untuk mengekspor produk-produk unggulan dari Indonesia ke negara tersebut. Dengan mengalirnya produk-produk Indonesia ke negara luar, maka kegiatan industri di Indonesia menjadi meningkat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara Indonesia. Sebaliknya, perekonomian China yang begitu kuat terfokus pada ekspor menjadi tantangan bagi Indonesia. Ditambah lagi Pemerintah China yang mendukung penuh perdagangan masyarakatnya telah mampu untuk menghasilkan produk yang berkualitas, produk yang bervariasi, teknologi yang maju serta harga yang relatif murah.

Dalam perdagangan bebas antara Indonesia dengan China ini, masyarakat memandang ACFTA sebagai ancaman, karena berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri.

Perdagangan internasional merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian suatu negara. Perdagangan internasional dapat mendorong peningkatan industri, perkembangan transportasi global, serta  berdirinya perusahaan multinasional.  Di kawasan Asia Tenggara perdagangan internasional dikenal dengan Asean Free Trade Area (AFTA) yang meliputi negara-negara ASEAN, seperti: Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Brunei Darusallam, Kamboja, Vietnam, Laos dan Myanmar.

Perkembangan dalam AFTA terus berlanjut yang kemudian memulai kesepakatan untuk memasukkan China sebagai partner dagang dalam kawasan ASEAN dan membentuk ASEAN-China Free Trade Areas (ACFTA). ACFTA ini diawali oleh kesepakatan para peserta ASEAN-China Summit di Brunei Darussalam pada November 2001. Hal tersebut diikuti dengan penandatanganan Naskah Kerangka Kerjasama Ekonomi (The Framework Agreement on A Comprehensive Economic Cooperation) oleh para peserta ASEAN-China Summit di Pnom Penh pada November 2002, dimana naskah ini menjadi landasan bagi pembentukan ACFTA.

Ketertarikan ASEAN mengikutsertakan China menjadi partner dagang dalam ACFTA karena China memiliki potensi pasar yang bagus. Seperti yang kita ketahui China merupakan negara berkembang di Asia yang perkembangan ekonominya cukup pesat dan mampu mempertahankan pertumbuhan yang tinggi dibanding negara-negara lainnya, sehingga posisi Cina saat ini cukup penting dalam perekonomian global. China yang memiliki penduduk yang begitu besar yaitu 1,4 miliar yang merupakan pasar yang cukup besar dan potensial sehingga akan saling menguntungkan apabila dapat dijalin kerjasama diberbagai sektor ekonomi, karena disamping memiliki kemampuan investasi yang tinggi, Cina juga membutuhkan bahan baku dan barang modal untuk menggerakkan sektor industrinya. Dengan diberlakukannya pasar bebas tersebut, akan membuat produk-produk impor dari ASEAN dan China menjadi lebih mudah masuk ke pasar domestik. Selain itu harga produk tersebut juga menjadi lebih murah, disebabkan adanya pengurangan atau penghapusan tarif bea masuk.

Bagi Negara Republik Indonesia, perdagangan bebas ASEAN dengan China ini memberikan dampak positif dan negatif terhadap perekonomian. Dampak positifnya adalah terbukanya peluang Indonesia untuk meningkatkan perekonomiannya melalui pemanfaatan peluang pasar yang ada, dimana produk-produk dari Indonesia dapat dipasarkan secara lebih luas ke negara-negara ASEAN dan China. China yang memiliki wilayah yang luas, jumlah penduduk yang banyak, serta pertumbuhan ekonomi yang pesat menjadi pasar yang potensial untuk mengekspor produk-produk unggulan dari Indonesia ke negara tersebut. Dengan mengalirnya produk-produk Indonesia ke negara luar, maka kegiatan industri di Indonesia menjadi meningkat, sehingga dapat meningkatkan pendapatan negara Indonesia. Sebaliknya, perekonomian China yang begitu kuat terfokus pada ekspor menjadi tantangan bagi Indonesia. Ditambah lagi Pemerintah China yang mendukung penuh perdagangan masyarakatnya telah mampu untuk menghasilkan produk yang berkualitas, produk yang bervariasi, teknologi yang maju serta harga yang relatif murah.

Dalam perdagangan bebas antara Indonesia dengan China ini, masyarakat memandang ACFTA sebagai ancaman, karena berpotensi membangkrutkan banyak perusahaan dalam negeri.

Pendapat  Saya Tentang Persaingan Perdagangan  Indonesia dengan Cina:

Cina akan menguasai dunia. Itulah kata-kata yang saat ini sering terdengar atau terpampang pada media massa, karena kekuatan ekonomi yang dikembangkan oleh etnis Cina, telah menjadi kekuatan masa depan yang tidak dapat dipandang remeh.

Di Indonesia, keutamaan etnis Cina adalah sebagai minoritas. Karena jumlahnya hanya sekitar 3,5% dari sejumlah total populasi penduduk indonesia. Meskipun secara kuantitas minoritas, tetapi temyata mereka mengendalikan 73% perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat bahwa secara numerik memang tidak berarti banyak, namun peran ekonomis dan finansial yang secara konkret dijalankan oleh suatu komunitas sosial ini adalah penting. Sebagai contoh, pusat perdagangan dan bisnis paling penting di Yogyakarta seperti di Jalan Malioboro atau Jalan Solo jelas terlihat dominasi toko-toko milik keutamaan etnis Cina. Demikian pula, halnya di kotakota kecil dan menengah lainnya. Dominasi etnis Cina dalam dunia bisnis tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga terjadi di seluruh penjuru dunia.

Di Indonesia jaringan bisnis Cina Perantauan (nonpribumi) juga berkembang pesat. Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), pada tahun 1994 total aset dari 300 konglomerat mencapai Rp271,887 triliun, diperkirakan 78,3% atau senilai Rp212.832 triliun merupakan aset pengusaha nonpribumi (CIA = Cina, India, dan Arab). Sementara pengusaha pribumi menguasai aset sekitar 17,9% atau senilai 48,674 triliun, sisanya 3,8% merupakan usaha asimilasi. Yang unik, jaringan bisnis tersebut sebagian besar sudah menjadi dan membaur dengan masyarakat pribumi setempat. Dari sini terlihat jelas bahwa perdagangan bebas ASEAN-China akan lebih banyak merugikan Indonesia

Adapun Sikap dalam menghadapi masalah ini yaitu dengan cara :

1. Dengan peningkatan capacity building industry dalam negeri, terutama dalam meningkatkan daya saing. Daya saing merupakan hal penting dalam berkompetisi dengan China, diantaranya dengan memperbaiki infrastruktur berupa pembangunan jalan, jembatan, pelabuhan, pembangkit dan jaringan pasokan energy dan sarana pendukung lainnya.
2. Harus mejunjung tinggi prinsip perdagangan yang seimbang antara China dan Indonesia. (balance trade). Prinsip balance trade ini dapat dijadikan pijakan untuk memperbaiki posisi perdagangan Indonesia terhadap China, sehingga jika tidak terjadi ketidakseimbangan perdagangan, maka Indonesia sebagai pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan keberatan.
3. Jika pemerintah tidak mampu berkompetisi dengan China untuk beberapa sector perdagangan, maka strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengeluarkan kebijakan safeguard yaitu pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Ada lima produk impor yang dikenakan safeguard (BMTP) selama tiga tahun ke depan yaitu:produk tali kawat baja, kawat seng dan kawat bindrat, kain tenun dari kapas.
4. Indonesia perlu memproduksi  apa yang tidak diproduksi  oleh China dan ekspor mana yang berbeda dari China. Inilah yang disebut dengan complementary atau kebijakan perdagangan yang saling melengkapi.
5. Voluntary Export Restraint (VER). Hal inilah yang permah dilakukan oleh Amerika Serikat ketika Negara ini diserbu oleh produk China. Dengan VER, maka Amerika Serikat dapat meminta China agar membatasi barangnya masuk ke Amerika. Indonesia dapat meminta China untuk mencabut subsidi ekspor dan membeli produk Indonesia lebih banyak lagi.
sumber :